Senin, 06 Mei 2024

Seorang Guru, Bagaikan Papua ditengah " Tambang Emas Freeport ".

Penulis : Edy Suprayitno

"Profesi Guru di Indonesia Kurang Peminat, dinilai belum menjanjikan dan minim Apresiasi"

Kata-kata yang pertama muncul dibalik otak saya yang sudah sangat gelisah dengan sistem pendidikan kita  seperti ini adalah " MIRIS, SEDIH dan MARAH", ditambah membaca narasi judul berita diatas. 

Karena saya seorang guru, saya menjadi tertarik sedikit melampiaskan kemirisan, kesedihan dan kemarahan saya setelah membaca salah satu judul berita disalah satu berita online ini. 

Sebagai seseorang yang hobby tulis menulis dan juga berkecimpung didunia jurnalistik online (amatiran), masalhnya bukan ada pada judul yang dibuat membuat saya miris, sedih dan marah, tetapi kondisi GURU INDONESIA yang masih seksi dijadikan berita terlebih terkait dengan kondisi real perekonomian seorang guru.

MIRIS saya, bagaimana mungkin profesi pendidik dan pengajar dari berbagai profesi elit yang ada dan lahir di tanah air ini ; seperti Dokter, Tentara, Polisi, Insinyur dan seabrek profesi elit lainnya yang kehidupannya sangat super sejahtera namun guru-guru yang mengajar mereka mulai nol dari belum tahu apa-apa hingga bisa membeli apa-apa, namun justru para guru yang menjadikan mereka bisa menjadi "orang" hingga detik ini masih dibawah kata sejahtera dan masih banyak yang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.

Miris saya, disaat anak-anak didik yang dilahirkan sehingga bisa membaca, berhitung dan berbahasa lalu melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi hingga mendapatkan pekerjaan yang baik bagi kehidupannya, namun sekali lagi gurunya masih saja terengah-engah mencicil motornya yang digunakan untuk mengajar. 

Apa ini bentuk "iri" dari seorang guru kepada pencapaian anak didiknya? 
Tentu tidak, seekor induk elang akan sangat senang ketika melihat anaknya sudah bisa dan pandai terbang tinggi dan lebih tinggi dari dirinya. Pun seorang guru akan senang dan bahagia disaat anak didiknya bisa menjadi "orang" dengan kedudukan dan penghasilan yang jauh besar dari dirinya. Miris memang.

Kesedihan saya semakin mengemuka disaat kondisi sistem pendidikan kita saat ini semakin tidak menentu arah. Ketika karakter anak didik kita seakan tidak memiliki pijakan yang jelas, mengambang dan nampak rapuh dipermukaan. Tidak ada lagi ketaatan dan kepatuhan sebagaimana saya dulu, disaat sang guru menasehati dan bahkan memarahi, kami diam dan berusaha membuat perubahan. Kesedihan saya semakin bertambah melihat sistem kesejahteraan (penggajian, red) bagi para guru khususnya guru dengan status "honorer" atau belum tetap, mereka hanya dibayar sepekan dari empat pekan mereka mengajar. Sedih sangat. 

Dan, sedikit agak marah akhirnya, disaat saya mengkritisi sistem pendidikan seperti ini ada orang yang memberi nasehat " jangan banyak keluhan, jalani saja tugas dan pengabdianmu sebagai guru dengan ikhlas ". 

Ya...tentu kami sangat ikhlas menjalani profesi ini, namun dibalik kami berjibaku dalam keikhlasan mendidik dan mengajari para generasi penerus bangsa ini, seharusnya ada usaha pemegang kebijakan dalam pendidikan membuat sebuah regulasi yang lebih baik, dan membuat kami tersenyum dan lebih bangga dengan profesi yang kami jalani. 

Nah, kembali dengan judul "Profesi Guru di Indonesia Kurang Peminat, dinilai belum menjanjikan dan minim Apresiasi" yang mendasari munculnya tulisan ini, ya pastilah generasi kekinian akan berfikir ulang untuk menjadi guru jika nanti ia paham bahwa honornya akan dibayar hanya seminggu dalam sebulan, dan 3 minggu sisanya "mengabdi". Bagaimana bisa memunculkan peminat jika generasi saat ini akan tahu bahwa menjadi guru akan berpahala sampai akherat namun honor mereka hanya bisa untuk membayar cicilan sampai sekarat.

Dengan kondisi guru seperti ini bagaimana mungkin juga generasi milenial mengganggap menjadi guru adalah profesi yang menjanjikan? Diperparah lagi dengan sangat minimnya apresiasi khususnya dari mayarakat terlebih orang tua siswa kepada segala pengajaran dan pendidikan yang dilakukan oleh seorang guru kepada anak-anaknya disekolah. Bahkan ada kondisi yang justru sebaliknya dari masyarakat atau orang tua kepada seorang guru. Guru menegur dan mungkin menghardik siswa untuk shalat atau melakukan yang baik justru dipolisikan. 

Miris, Sedih dan marah saya, melihat profesi guru sejak Indonesia merdeka hingga kini setelah 79 tahun kemerdekaan, kesan guru dengan sosok "Oemar Bakry" yang digambarkan sebuah profesi yang sangat jauh dengan simbol sejahtera apalagi kaya, belum juga hilang.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2024.

EdPenaMu

Author & Editor

0 comments:

Posting Komentar