Suasana
meja makan yang hanya di isi dua orang, yaitu Kayla dan ibunya tampak sunyi.
Keduanya fokus menghabiskan makanan pada piring masing-masing. Hingga
pertanyaan dari sang ibu memecahkan keheningan di antara mereka.
“Gimana
sekolahmu hari ini, Kay?”
Kayla
meletakkan sendok makannya, kemudian menghela nafas. Selalu saja pertanyaan
yang sama setiap harinya. “Baik, Ma,” jawabnya sebelum kembali melanjutkan
aktivitas makan yang tertunda.
Winna
menemukan keanehan dari raut wajah anaknya tapi ia tak tahu apa artinya. Winna
selalu merasakan ada yang tidak beres dari jawaban Kayla. Dulu, Kayla selalu bersemangat
menjawab bila ia beri pertanyaan yang sama. Namun, sekarang jawaban Kayla
sangat berbeda. Putrinya tampak tidak menikmati masa sekolahnya sehingga tidak
ada cerita atau kejadian menarik yang bisa diceritakan padanya.
Melihat
sang ibu kembali menyantap makan malam dengan tenang membuat Kayla lega.
Diam-diam dalam lubuk hatinya ada rasa bersalah karena telah berbohong.
Kebohongan untuk ke sekian kalinya terlontar dari mulutnya.
Sehabis
makan malam Kayla bergegas pamit kembali ke kamar dengan alasan ada tugas yang
harus dikerjakan. Winna hanya mengangguk sebagai jawaban. Kayla tidak berbohong
soal tugasnya. Besok di kelasnya ada banyak tugas yang harus dikumpulkan dan ia
harus bekerja keras menuntaskan itu semua seorang diri.
Butuh
waktu dua jam bagi Kayla menyelesaikan seluruh tugasnya dan sekarang ia
mengistirahatkan tubuh kecilnya di atas kasur. Matanya sejak tadi sibuk menatap
langit-langit kamar. Tanpa disadari setetes air mata meluncur membasahi
pipinya. Kayla sendiri terkejut tapi tidak bergerak membersihkan jejak air mata
itu. Butiran-butiran lain pun turun semakin deras, diikuti dada Kayla mulai
terasa sesak. Tangan kanannya mengepal, pertahanannya sudah hancur, ia tidak
kuat lagi menahannya seorang diri. Akhirnya, Kayla menangis di kamarnya tanpa
mengeluarkan suara agar ibunya tidak curiga.
Ia
menangis karena mengingat perlakuan teman-teman sekelasnya yang begitu jahat.
Sebenarnya sejak kelas 10 Kayla dijauhi oleh teman-temannya. Tidak sampai di
sana saja, teman-temannya bahkan tega membully dirinya. Kayla tidak mengerti
apa penyebab mereka melakukan itu. Ia tentu tidak berani melapor karena hal itu
mempunyai dampak yang lebih parah. Jadi, dari dulu hingga sekarang ia memilih
diam dan bertahan seorang diri.
Alasan
lain ia selalu menangis ketika sendirian di dalam kamar adalah karena rasa
bersalah pada sang ibu. Kayla tahu ibunya menyadari perubahan sikapnya, hanya
saja dirinya tak berani jujur karena tidak ingin ibunya khawatir. Ibunya sudah
bekerja keras demi memenuhi kebutuhannya dan ia tidak ingin ibunya memiliki
beban tambahan dengan mengurus soal permasalahannya di sekolah. Ia yakin bisa
menyelesaikannya seorang diri tanpa harus membawa-bawa nama sang ibu.
Bel
tanda pulang terdengar membuat Kayla bergegas membereskan tasnya. Ia ingin
cepat-cepat pulang karena mulai tak tahan berada di kelasnya sendiri. Tatapan
aneh terus diberikan teman-temannya ketika ia berjalan keluar kelas. Kayla
sudah terbiasa jadi ia tidak peduli. Kadang ia mendengar satu dua orang
membicarakan hal yang tidak-tidak tentang dirinya. Sakit hati? Tentu saja,
Kayla ingin sekali menangis tapi ia sadar jika ia menangis maka teman-temannya
semakin senang karena berhasil meruntuhkan dirinya.
“Panasnya,”
keluh Kayla sembari menghapus keringat di dahi dengan sapu tangan miliknya.
Entah kenapa hari ini terasa lebih panas dari hari biasa.
Saat
kakinya ingin berbelok menuju blok selanjutnya, matanya menangkap sosok kucing
berwarna putih di bawah pohon. Kayla sangat menyukai kucing jadi ia tak bisa
menahan diri untuk tidak menghampiri kucing tersebut.
“Hi,
kamu lucu banget,” ucapnya antusias sembari mengelus kepala si kucing. Ajaibnya
kucing ini tidak mencakarnya atau melarikan diri. Seutas senyum terukir di
wajah Kayla. Senyum pertamanya hari ini.
“Ini
punya orang atau kucing liar, ya?” Kayla melirik ke sekitar namun tidak
menemukan siapa pun selain dirinya. Akhirnya, Kayla berinisiatif membawa kucing
putih itu pulang karena hari sudah semakin siang.
Hari-hari
Kayla terasa semakin membaik sejak memiliki seekor kucing di rumahnya. Ia
merasa memiliki seorang teman yang mengusir kesepiannya ketika berada seorang
diri di rumah. Kucing itu juga sangat penurut dan tidak pernah berbuat onar
yang bisa memancing kemarahan ibunya. Ibu Kayla sendiri turut senang dengan
kehadiran anggota baru di rumah mereka dan keduanya sepakat memanggil kucing
tersebut dengan nama Putih. Tak ada alasan khusus, nama itu tersebit dari benak
Kayla karena bulunya yang berwarna putih tampak sangat menggemaskan.
“Put,
kamu ikut aku keluar, yuk?”
Senyum
kecil Kayla terbit kala melihat Si Putih berjalan menuju arahnya. Kayla lantas
membuka pintu dan suasana langit jingga menyambutnya. Entah mengapa Kayla ingin
berjalan-jalan sore. Sesudah berpamitan pada Winna, Kayla dengan penuh semangat
melangkahkan kakinya, diikuti Si Putih berjalan pelan di sampingnya.
Tujuan
pertama Kayla adalah taman yang tak jauh dari rumahnya. Sejak dulu bila butuh
sedikit hiburan Kayla akan pergi dan berdiam diri di salah satu bangku taman.
Meskipun seorang diri tapi Kayla tetap menyukai rutinitasnya yang satu ini.
Sekarang hal ini akan sedikit berbeda karena ia bersama kucing peliharaannya.
Terkadang
ada perasaan iri dan sedih terlintas dalam pikiran Kayla kala melihat
remaja-remaja seumurannya bermain dengan teman-teman mereka. Dan kali ini
perasaan itu datang kembali. Kayla lagi-lagi menangkap pemandangan sekelompok
remaja tampak bercengkrama dengan penuh tawa.
“Kira-kira
kapan aku bisa kayak mereka, ya?”
Namun,
pikiran lenyap saat Kayla menyadari Si Putih tidak berada di dekatnya. Rasa
panik pun menghampiri dirinya, ia pun segera bangun untuk mencari keberadaan Si
Putih. Kayla terus-menerus memanggil nama Si Putih cukup keras hingga membuat
beberapa orang melayangkan tatapan ke arahnya. Kayla juga menanyakan kepada
beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar taman.
“Permisi,
ada lihat kucing warna putih di sekitar sini ngga?”
“Maaf,
kami ngga lihat.”
Kayla
tidak putus asa dan terus mencari keberadaan Si Putih hingga ia sampai di
bagian belakang taman yang berdekatan dengan sebuah hutan. Mata Kayla membulat
ketika menangkap sekilas tubuh Putih yang bergerak di antara pohon-pohon tak
jauh dari tempatnya berdiri. Kucing itu terus berjalan maju memasuki kawasan
hutan. Dengan perasaan takut Kayla memberanikan diri berlari menyusul Putih.
Kening
Kayla sedikit berkerut menyadari ada yang aneh dari hutan ini.
“Kenapa
pohon-pohonnya punya corak yang aneh?”
Sayangnya
Kayla harus menghapus pertanyaan itu dari kepalanya karena matanya menangkap
Putih tengah bermain di dekat sebuah pohon berakar besar. Anehnya lagi, kaki
mungil Putih mengelus-ngelus ke sekitar akar-akar besar seakan mencari sesuatu.
Kayla
perlahan mendekat dan bersembunyi di balik semak-semak guna memperhatikan
perilaku aneh dari kucingnya. Banyak pertanyaan terbesit di kepalanya. Tapi
lagi-lagi harus lenyap kala melihat seorang perempuan keluar dari balik
akar-akar tersebut dan mengendong tubuh Si Putih.
“TUNGGU!
JANGAN BAWA PUTIH!” Kayla refleks berteriak sembari berlari mendekat ke pohon
besar. Si Putih dan orang asing pun menoleh ke arah Kayla.
“Jadi,
dia tamu kita?” ucap perempuan asing pada Putih.
Kepala
Kayla terasa pusing melihat banyak kejadian aneh hari ini. Pertama-tama, Putih
yang menemukan tempat aneh. Kedua, sosok perempuan yang tiba-tiba mengajaknya
masuk ke balik akar-akar besar. Ketiga, sikap Putih yang sama sekali tidak
takut mengikuti langkah perempuan asing itu. Kayla ingin sekali melangkah pergi
meninggalkan tempat aneh itu tapi rasa penasaran lebih mendominasi dirinya.
Akhirnya, dengan penuh keberanian Kayla mengikuti sosok asing dan Putih
melangkah masuk lebih dalam.
Satu
kata yang bisa mengungkapkan kekaguman Kayla sekarang.
Menakjubkan.
Ia
tidak menyangka ada tempat seindah ini di dalam hutan. Segalanya tampak penuh
warna mulai dari pohon-pohon sampai hewan-hewan yang ada di sana juga memiliki
berbagai jenis warna yang membuat mereka tampak lebih indah.
“Sudah
puas mengagumi tempat kami?”
Kayla
berbalik mendapati sosok perempuan asing tadi.
Astaga,
saking terpesonanya Kayla sampai lupa ia tengah berada di tempat asing.
“Di
mana ini dan siapa dirimu?” tanya Kayla gugup.
“Kenalkan
aku Kanaya, salah satu peri penjaga di sini.”
Untuk
ke sekian kalinya Kayla berhasil dibuat kaget. Bukannya peri itu tidak nyata?
Lantas kenapa perempuan di hadapannya mengaku sebagai seorang peri? Tapi Kayla
akui sosok di hadapannya seperti tokoh-tokoh dalam cerita fantasi yang pernah
ia baca. Rambut hitam yang dipotong pendek sebahu lengkap dengan hiasan kepala
berisi permata-permata biru, kulit putih yang ditutupi pakaian putih hingga di
bawah lutut, dan paras wajah yang cantik. Dia sudah cocok bila memainkan
karakter sebagai seorang peri baik atau putri kerajaan.
“Kamu
pasti tidak percaya dengan ucapanku, kan? Namun, ini semua memang nyata.”
Kanaya kembali berbicara. “Kucing yang membawamu ke sini bernama Ze dan dia
adalah hewan peliharaanku. Dia membawa tamu yang berbeda setiap tahun.”
“Tamu?”
Kanaya
tersenyum kecil, “Benar, kamu pasti anak yang memiliki banyak masalah, bukan?”
Kayla
terdiam tidak berani menjawab.
Melihat
kediaman Kayla, Kanaya menepuk pundak Kayla membuat kedua mata gadis itu
kembali terfokus kepadanya. “Maka dari itu Ze membawamu ke sini untuk menghibur
sekaligus menolongmu melalui kami.”
“Tapi
kenapa kamu mau membantuku padahal aku ini orang asing.”
Kanaya
mengangkat bahu, “Entahlah, menurutku membantu orang lain itu menyenangkan dan
aku senang setiap kali kami mendapat tamu.” Kanaya menarik pelan salah satu
tangan Kayla. “Ayo, ku kenalkan pada saudari-saudariku,” lanjutnya.
“Aku
tidak tahu kalau ada tempat seperti ini di dalam hutan.”
“Sebenarnya
masih banyak dunia lain di alam semesta kita, Kay. Kita semua hidup
berdampingan dalam dunia yang berbeda. Seperti contohnya kita. Kamu hidup di
dunia manusia dan aku di dunia peri.”
Kayla
mengangguk sebagai jawaban, kepalanya masih terlalu sulit menerima informasi
yang dijelaskan oleh Kanaya. Semua seperti cerita dongeng saja.
“Oh,
lihat! Itu Seyna!” Kanaya berucap penuh semangat.
Kayla
mengikuti arah pandang Kanaya dan menemukan sosok yang dipanggil Seyna.
Di
atas batu besar tampak seorang peri bernama Seyna sibuk bermain dengan seekor
kelinci dalam gendongannya. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan Kanaya,
hanya saja Seyna memiliki rambut panjang berwarna orange yang diikat
menggunakan pita yang senada dengan pakaiannya.
“Seyna,
kemari sebentar,” perintah Kanaya.
Selang
beberapa detik tubuh Seyna sudah berada di hadapan Kayla membuat Kayla sedikit
memundurkan langkah dan Kanaya menggelengkan kepalanya.
“Dia
sia-ADUHH!” Seyna meringis akibat sentilan keras kakaknya.
“Berhenti
membuat tamu kita kaget.” Kanaya melayangkan tatapan tajam pada Seyna.
Seyna
mendengus kesal, “Ya, maafkan aku, Nay.”
Kayla
terdiam melihat pertikaian antara dua peri di hadapannya. Ia masih takjub oleh
teknik teleportasi milik Seyna. Bagaimana peri itu bisa berpindah tempat
secepat itu?
“Apa
tadi itu kekuatanmu?” Kayla memberanikan diri untuk bertanya membuat kedua
atensi peri itu beralih penuh padanya.
“Benar,
semua peri bisa melakukannya,” jawab Seyna.
“Tapi
dia terlalu sering menyombongkan hal itu di depan para tamu,” ujar Kanaya berhasil
membuat Seyna memutar bola matanya malas.
“Jadi,
siapa dia?” tanya Seyna lagi.
“Tamu
kita kali ini, namanya Kayla,” mendengar namanya disebut Kayla bergegas
membungkukkan sedikit badannya ke arah Seyna, salah satu kebiasaan yang
diajarkan Winna padanya sejak kecil bila bertemu orang baru.
“Senang
menyambutmu di dunia kami, Kayla,” ujar Seyna sembari tersenyum ramah.
“Sekarang
di mana saudarimu yang lain?” tanya Kanaya yang sejak tadi tidak melihat batang
hidung saudarinya yang lain. Biasanya mereka bermain bersama di daerah ini.
Seyna
menunjuk ke arah hutan di seberang sungai, “Jeanna dan Ceriy ada di sana,”
kemudian jarinya berpindah arah menunjuk salah satu pohon rindang tak jauh dari
tempat mereka berdiri, “Mika sedang membuat mahkota di rumah pohon itu.”
Kayla
menyipitkan kedua matanya namun tetap tidak melihat siapa pun di rumah pohon
yang ditunjukkan oleh Seyna. Lagi pula, membuat mahkota harus di atas sana?
Kenapa tidak di bawah saja? Pemandangannya lebih menarik.
“Mika
sejak dulu senang bermain di rumah pohon,” Kanaya tiba-tiba berucap membuat
Kayla menoleh padanya. Apa peri juga bisa membaca pikiran orang lain?
“Aku
bisa tahu dari ekspresi wajahmu, aku tidak bisa membaca pikiran.” Kanaya
kembali bersuara diiringi tawa kecil karena tak tahan melihat reaksi Kayla.
“Seyna,
tolong panggil Mika ke sini. Kita perlu sedikit mengobrol bersama Kayla.” Seyna
mengangguk sebelum menghilang pergi memanggil Mika. Melihat kepergian Seyna,
Kanaya lantas menjentikkan jarinya dan di hadapannya seketika muncul alas kain,
keranjang piknik, serta beberapa makanan manis yang tertata rapi.
“Wow..”
Kayla menutup mulut, ia kembali dibuat takjub oleh kekuatan peri-peri di sini.
Kanaya
lebih dulu mengambil tempat duduk dan tangannya bergerak cepat mengeluarkan
makanan dari dalam keranjang, juga menyiapkan beberapa gelas teh hangat.
“Kenapa
masih berdiri, Kay?” Kayla pun segera mengambil tempat di sebelah Kanaya. Ia
masih diam seribu bahasa, ia masih terlalu takjub dengan semua keajaiban yang
ia lihat.
“Hi,
Nay, kami kembali,” suara milik Seyna mengambil atensi keduanya.
“Oh,
sebuah pesta teh. Aku suka pesta teh,” kali ini suara berbeda masuk ke telinga
Kayla membuatnya menoleh pada perempuan di sebelah Seyna. Dia memiliki rambut
pirang dengan beberapa tahi lalat di hidung dan atas bibirnya. Pakaiannya
berwarna senada seperti Kanaya dan Seyna. Kayla yakin perempuan ini pasti peri
yang bernama Mika.
“Tunggu,
siapa gadis di sampingmu, Nay?”
“Namanya
Kayla, tamu baru kita.” Kanaya menjawab pertanyaan Mika sambil memberi isyarat
pada kedua saudarinya agar ikut duduk bersama mereka.
“Kebetulan
sekali aku punya hadiah kecil untuk Kayla.” Mika menepuk tangannya sekali, lalu
muncullah sebuah mahkota dari ranting-ranting pohon yang dirakit dengan rapi,
lengkap dengan hiasan bunga berwarna putih serta kuning keemasan di atas kepala
Kayla.
Kayla
meraba mahkota di atas kepalanya sembari tersenyum senang, “Terima kasih, ini
sangat cantik.”
“Untuk
kami?” tanya Kanaya dan Seyna bersamaan mengundang tawa Mika.
Mika
pun melakukan hal serupa, seketika dua mahkota terpasang sempurna di atas
kepala Kanaya dan Seyna. Keduanya langsung mengucapkan terima kasih pada Mika.
Mika hanya mengangguk samar sebelum menyeruput teh di hadapannya.
“HI,
KALIAN SEDANG APA?” teriakkan seseorang mengalihkan perhatian mereka semua.
Tepat
di atas hamparan air sungai dua orang peri tengah terbang menuju arah mereka.
Kayla menatap dengan mata berbinar. Sungguh luar biasa ia menyaksikan hal
tersebut.
“Itu
Jeanna dan Calistha.”
Tak
berselang lama kedua peri yang terbang tadi mendaratkan kaki mereka dengan
mulus di atas rerumputan. Sayap mereka perlahan menghilang saat kaki keduanya
menyentuh tanah. Satu peri bertubuh tinggi, rambut panjang berwarna abu-abu
tergerai, dan pakaian berwarna putih. Peri terakhir memiliki perawakan seperti
anak kecil, rambut hitam yang dikepang menyamping dengan sedikit warna hijau
tua di ujungnya dan tentu saja pakaian berwarna putih seperti saudarinya yang
lain.
“Dia
pasti tamu yang Ze bicarakan pada kita, Ca,” ujar Jeanna si peri berambut
abu-abu.
“Aku
tak menyangka kita kedatangan tamu lagi setelah sekian lama,” balas Calistha
penuh semangat. “Ayo, kita tunjukkan sesuatu yang luar biasa pada tamu kita,
Je!” lanjutnya.
Baru
saja Jeanna dan Calistha ingin membawa Kayla pergi ke tempat-tempat favorit
mereka, suara Kanaya menghentikan pergerakan keduanya.
“Bisa
tidak biarkan tamu kita duduk dengan tenang?”
Calistha
berdecak sebal sebelum membela diri, “Tapi, Nay, dia harus melihat kuda putih
milik kita, kupu-kupu permata di padang rumput, laba-laba dua warna dengan
jaring peraknya di dalam hutan, kolam teratai yang ditemukan Seyna.”
“Dan
melihat rumput yang bisa berubah warna di dalam gua biru,” tambah Jeanna.
“Jawabanku
tetap tidak.” Kanaya melipat tangannya, menatap marah Jeanna dan Calistha. “Ada
hal yang harus kita bicarakan pada Kayla. Selepas itu, kalian bebas mengajak
Kayla pergi ke mana pun.”
Jeanna
dan Calistha menghela menghela nafas panjang. Mereka tidak bisa melawan.
“Tapi,
Nay.” Mika berujar pelan, “Bukannya Kayla harus kembali ke dunianya?”
“Di
dunia manusia sudah memasuki larut malam. Tidakkah kamu lupa kita punya
perbedaan waktu yang cukup jauh dengan dunia manusia?” Seeyna menambahkan.
Kanaya
terdiam, ia lupa hal itu. Pandangannya kini beralih penuh pada Kayla yang sejak
tadi tak bersuara. “Kayla, maafkan aku,” ucapnya penuh penyesalan.